Melalui tiap lebaran dengan suasana berberda setiap tahunnya
tahun ini juga berhasil dengan sukses. Walaupun hari pertama selalu sama. Ke makam
kakek, nenek, kakek dari ibu dan kakek-nenek dari Ayah. Karena mereka di
makamkan di gampong yang berbeda tapi masih tetep satu kabupaten. Sehingga sekeluarga
kami tingggal di kota Sigli. Serta grandparents tinggal di kampung.
Mereka adalah orang tua yang “kampungan”. Tidak memakai hape
dan bahkan saat pertama kali aku melihat dunia di tahun 1991, rumah kami tak
ada listrik. Jadi departemen penerangannya hanya panyoet seuruengkeng (lampu
minyak). Kalau orang tua sekarang diajarkan begaimana men-scrool- hape layar
sentuh. Grandparent mengawasi kami saat kecil ketika memanjat pohon mangga,
pohon jambu, pohon kedondong, pohon labu dan pohon meninjo.
Di saat ibu-ibu mengajari anaknya fashion, nenek saya
membantu membuka baju saya, supaya bisa berenang dengan mudah mengumpulkan
siseuk (sejenis ganggang sungai) untuk pakan bebek kami.
Jadi generasi 80an pedesaan adalah yang pandai berenang,
(termasuk menyelam dan menangkap ikan) memanjat dan berkude serta penuh bekas
luka di pergelangan sampai sikut. Karena air sungai tidak higienis dan kadang
suka tangannya tergores batang kayu dan bekas getah mancang yang susah sembuh
seperti semula kalau terkena.
Kembali ke hari raya, memang lintas generasi tak bisa di
samakan dan tidak bisa di erupsi yang mana yang lebih baik. Tapi subuh sekali sudah kami lakukan pembangunan. Ayah dan
saya sudah ke Masjid, berpulang lalu membangunkan adik-adik. Mama menyapu, adik
menyapu di ruangan lain. Aku mandi, lalu mencari kain sarung, lalu baju baru
untuk ke masjid Shalat Ied. Shalat ied jam 07.20. khatib Ustad Chalis, mantan
pimpinan Darul Ulum. Bagus sedikit ceramah beliau, teratur tentang
Silaturrahmi, Makna Haji dan lain-lain.
Lalu sepulang dari ied jalan kaki, hanya menyalami yang
kenal-kenal saja. Karena shake hand dengan everybody di Masjid akan
menghabiskan satu jam dari usia kita.
Lalu pulang kerumah dari jalan yang berbeda. Kenapa? Karena Rasul
melakukannya. Lalu kerumah nenek dari pihak ibu. Ini sudah dilakukan selama
puluhan tahun oleh keluarga ini yang terdiri dari tujuh anggota 4 pria dan
lainnya wanita dan disana termasuk saya.
Ke rumah nenek, adalah kembali kemasa dimana saya dibesarkan.
Kami melewati sungai yang dulunya dimana itu adalah sungai tempat belajar
berenang, sungai dimana tempat menyebrang ke sekolah. Sungai dimana kami
malam-malam ramadhan memancing dan mendapatkan ikan gabus yang besar. Kadang-kadang
harus menyelam malam karena mata kail tersangkut kayu-kayu hanyut di dasar
sungai. Sungai dimana waktu banjir dan penuh airnya di saat itulah mandi,
karena greget dan membutuhkan keberaniaan tinggi, aku juga sempat hanjut
sekali.
Nenek yang sudah 72 tahun masih kuat kesawah, tidak pernah
hemat bicaranya. Lalu ke kuburan kakek, membaca doa. Lalu kembali ke rumah
nenek, memakan timphan, minum kopi. Lalu kerumah saudara saudari, kaum dan
tetangga-tetangga.
Lalu setelah makan lontong dan minum-minuman resmi Hari raya,
Sirup berhala cap patong 88. Kami menuju Beutong Pocut, kemudian ke rumah nenek
satu lagi.
Dulu saat nenek masih ada kesini seru! Keluarga besar pada
ngumpul tapi semenjak beliau tiada, yang tinggal di rumah ini adalah saudara. Jadi
singgah sebentar saja waktu dihabiskan di kuburan beliau.
Setelah itu sudah zuhur, sebelum zuhur biasa makan mie. Di teman-teman
ayah yang suka membuat mie dan membuka kedai kopi. Mienya standar, tapi karena
lengkap anggota keluarga jadi rasanya sudah bercampur dengan bahagia, jadi
sudah mengalahkan mie paling enak dimana pun.
Setelah itu pulang dan saatnya tidur. Besoknya baru keren di
hari kedua. Karena sudah bisa bertemu ke kawan sebaya dan pergi kemana kami
suka. Kali ini karena musim rambutan, maka kami berkeputusan setelah musyawarah
dan konferensi meja bundar renggas dengklok, langsung ke pohonnya.
MILA adalah penamaan kecamatan hasil kerjasama orang-orang
normal Metareum, Iloet, Lala dan Andeue. Disanalah menghasilkan rambutan
terenak se Pidie Jaya dan Pidie tidak Jaya. Dulu tumbuh juga durian juga timun
tewan. Tapi kini masyakarat fokus pada rambutan saja. Tapi ada juga pohon lain
di kecamatan ini yang berbuah subur. Tapi yang terkenal buah merah yang manis
yang isinya bisa dimakan kecuali bijinya itu.
Karena banyak kawan di daerah ini jadi makan rambutannya
gratis. Dulu sejak kuliah sudah berteman dengan orang Mila kareta mereka
menguasai perumahan dan pembuat mie-an di kampong Mulia sampai ke Simpang Lima.
Jadi anak-anak Toke Mie, Nasi goreng dan Marbatak adalah sebaya, selapangan
bola dan sesama masa puber saat itu mencari wanita pujaan.
Jadi akrabin lah sama mereka sehingga kadang pulang malam ke
Mila, kadang tidur dirumah mereka, kadang mereka tidur di rumah saya, kadang
dikenalin sama pacar mereka, kadang pacar mereka suka sama saya, tapi saya
tidak suka pacaran. Karena menghabiskan beberapa uang jajan.
Dan kawan-kawan punya kebun rambutan dan mulailan kami
memakan.
EmoticonEmoticon