(Tulisan
ini diikutsertakan dalam lomba esai “Saya dan FLP”)
Pertama kali saya bertemu Asma Nadia itu di Rumcay FLP Aceh -sekitar tahun 2008-. Saat itu belum menjadi Anggota FLP, tapi
sudah suka menulis. Setelah bertemu salah satu pendiri Flp itu saya mulai membaca buku-buku
karangan beliau dan anak-anak Flp. Saya kurang tertarik, karena saat itu masih populer novel Harry Potter, jadi saya cuma membaca dan menunggu novel best seller dunia saja. Novel FLP yang saya ingat ceritanya hanya Pesantren Impian,
kumpulan cerita Ketika Mas Gagah Pergi dan Bintang di Langit
Baiturrahman.
Awalnya saya penulis puisi waktu
SMA, puisi saya dimuat di majalah. lalu saya bosan dan mulai mencoba menulis cerita lucu sehari-hari di facebook. kata mereka saya punya bakat menulis, mereka menyarankan masuk FLP.
Yang membuat saya heran dan iri di FLP adalah orang-orang
didalamnya. Kenapa bisa ada nama mereka di sebuah buku dan ingin tahu bagaimana
caranya tulisan kita dimuat di surat kabar. Semenjak mengenal FLP tiga nama misterius selalu
di benak saya.. Nama Ade Oktiviary, Nuril Annisa dan Ferhat Muchtar.
Karena ada mereka yang saya baca tapi belum
pernah ketemu penulisnya. Tulisan mereka membuat saya kagum dan ingin menjadi penulis seperti mereka. Kelas-kelas
menulis selalu saya hadiri, sampai mereka jadi pemateri.
Lama-kelamaan dalam lingkaran FLP, mulailah
saat itu berkenalan dengan Ibnu Syahri Ramadan, Riza Rahmi, Anugrah Roby
Syahputra dan Rahmat Idris. Beberapa kali duduk dengan mereka membuat saya
berjamaah shalatnya, mereka selalu mengajak ke masjid.
Hal yang sama sekali tidak saya temukan di kawan-kawan yang lain. Saya pun
mulai tertarik bergabung.
Di tahun 2011 saat itu Riza Rahmi
ketua FLP Aceh. Saat itu saya satu-satunya peserta laki-laki yang mengikuti
inagurasi di Lubuk, Sebuah kampung yang masih alami di Aceh besar. Karena peserta Ikhwan tunggal
jadi saya sekamar dengan panitia pria. Suasananya sangat berbeda. Tidak pernah
sekali pun saya mendengar kata-kata yang tidak baik dari abang-abang panitia
yang merupakan senior yang sudah merasakan asam garam di dunia kepenulisan
islami ini.
Saya bersyukur lulus sebagai anggota
cowok satu-satunya. Saya berpikir sudah di track yang benar dalam hidup. Ini merupakan
dunia yang saya sukai, membaca dan menulis.
Dua tahun setelahnya, lebih banyak waktu yang saya habiskan
dengan FLP Aceh, sampai sempat menginap dirumah ketuanya, yang saat
itu Rahmat Idris (yang di foto di atas berbaju hijau), yang sudah menulis sekitar tujuh novel, tentang Palestina dan
Aceh. Kami juga sempat menginap di Rumcay. Sangking sukanya sama buku-buku di
rumcay.
FLP Aceh mengadakan berbagai kegiatan,
mengundang penulis-penulis yang hebat dari luar Aceh. Yang masih saya ingat
kami mendatangkan Kang Abik (Habiburrahman El-Shirazy), Gola Gong, Salim A
Fillah, Tere Liye, Pimpinan Attahirah –Lupa nama beliau- datang bersama Mbak
Helvy Tiana Rosa dan banyak lagi. Saya rasa itu masa kejayaan FLP. Anggota Flp
terus bertambah setiap tahunnya yang soleh dan Shalehah.
FLPers ini selalu
menyemangati saya menulis. Saat itu belum punya blog, mau mereka bantu buatkan.
Dulu menulis hanya di catatan facebook. Dan terus di semangati sama Bang Rahmat
Idris untuk menulis lebih serius. Buku sendiri atau tulisannya dikirimkan ke
media.
Semakin sering 'dipanasi', akhirnya
saya menyerbu media. Acapkali ke Serambi Indonesia, untuk menyerahkan cerpen.
Setelah percobaan ketujuh, baru cerpen dimuat di koran nomor satu di Aceh itu.
Senangnya bukan main, padahal disebalik cerita yang dimuat itu, banyak
tangan-tangan yang membantu. Lalu sudah biasa menulis di blog, dimuat
tulisannya di media online dan cita-cita membuat buku rame-rame (antologi)
tercapai. Tinggal membuat buku sendiri saja yang belum. Karena sibuk dengan
mempersiapkan untuk buku yang lain. Buku nikah dan buku tabungan. Tapi saat
website FLP Aceh.or.id di buka. Saya menjadi penulis yang artikelnya paling
banyak di surel itu.
Semangat menulis kini sudah
menggebu-gebu. Tiap pagi selalu ada ide yang bermunculan dikepala, kalau dekat
dengan laptop saya tuliskan, kalau jauh saya simpan di catatan. Untung ada FLP
jadi tulisan bisa terarah ke hal yang kebaikan. Misalnya tidak menulis
keburukan orang, tidak terlalu pamer masalah pribadi dan menulis yang penting
bukan yang penting menulis.
Tahun 2014 saya dipercayakan menjadi
ketua cabang. Saat itu Nuril Annisa dan Junaidah pulang dari bali Munas dan memisahkan
antara FLP cabang dan FLP Wilayah. Jadi sekarang Aceh punya FLP Wilayah Aceh,
FLP cabang Sigli, FLP Takengon (Aceh Tengah) dan FLP Lhoksukon (Aceh Utara).
Bagi saya, jadi ketua cabang itu
susah, harus ada jiwa kepemimpinan dan harus susah payah mengumpulkan lagi
anggota FLP Sigli yang sudah tercecer entah kemana-mana. Setelah berusaha, kami
berhasil bertemu tiga orang pendahulu FLP di kota kecil ini, satu kak Siti
Zakiah, Nurainun dan satu lagi Roliansyah. Kak siti punya banyak koleksi buku
dan empat koleksi anak yang sudah mulai menghafal qur’an. Buk Ainun tidak kalah
sibuk, punya empat anak bahkan ada yang sudah kuliah. Jadi pilihan untuk jadi
pengurus Sigli Cuma Roliansyah yang sekarang selalu punya waktu untuk ngopi dan
mengaji bersama saya.
Dari hasil musyawarah kami membuat
kegiatan pembukaan kembali FLP Sigli, Merapikan Rumcay yang juga tempatnya
hadiah dari beliau, merekrut anggota, dan membuat kelas mingguan.
Sampai saat ini masih jadi Ketua FLP
cabang Sigli dan dicalonkan pertama kali sebagai ketua FLP wilayah Aceh. Saya merasa
belum pantas. Untuk menjadi ketua FLP haruslah punya karya yang bagus yang
mencerahkan ummat, saya pikir saya belum bisa begitu, tapi berusaha saya sedang
berusaha untuk memperbaiki diri, baik dari tulisan maupun perbuatan.
http://flp.or.id/
http://flp.or.id/
EmoticonEmoticon